Pada saat ini wanita telah mengalami kemajuan
dalam berbagai hal. Fenomena wanita bekerja bukan merupakan hal yang aneh lagi
bagi masyarakat kita. Wanita jaman sekarang bisa melakukan pekerjaan yang
biasanya dilakukan oleh kaum pria. Dalam dunia politik pun tidak luput dari
campur tangan wanita, bangsa Indonesia pun pernah di pimpin oleh pemimpin
wanita. Hal ini dapat membuktikan bahwa wanita diberai kesempatan yang besar
untuk menjalankan kiprahnya didunia kerja.
Perlu dipahami bahwa fenomena wanita
berperan ganda sebagai ibu tumah tangga sekaligus bekerja diluar rumah, dan
juga sebagai pemimpin wanita sebenarnya sudah ada sejak dulu. Pada awal
abad 19, di luar negeri wanita yang sebelumnya berfungsi sebagai pekeraja
terampil pada usaha-usaha rumah tangga yang memproduksi sampai memasarkan mulai
beralih. Dampak dari revolusi industri membuat wanita banyak berpaling untuk
melakukan pekerjaan di luar rumah untuk menghidupi dan menambah penghasilan
keluarga. Menurut data statistik Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Depnakertrans) tahun 2003 – 2005. Pada tahun 2003 angkatan kerja wanita
mencapai 35,479,000 atau 35.36% dari angkatan kerja keseluruhan, 25.55% dari 35
juta tersebut merupakan pekerja di sektor publik. Tahun 2004 angkatan kerja
wanita naik menjadi 38,046,000 atau 34.66 % dari angkatan kerja keseluruhan,
27.58 % bekerja di sektor publik. Tahun 2005 juga mencatat kenaikan angkatan
kerja wanita yang mencapai 39,580,488 atau 37.40 % dari angkatan kerja
keseluruhan, 26.98% dari angka tersebut merupakan pekerja sektor publik.
Bekerja bagi setiap wanita adalah
sebuah pilihan. Gerson (1985, dalam Nainggolan, dkk, 1996:78) menyatakan bahwa
keputusan wanita untuk bekerja dipengaruhi oleh faktor yang sifatnya komulatif,
interaktif dan terus berkembang dipengaruhi baik secara langsung atau tidak
dari masyarakat, keluarga dan diri sendiri sehubungan dengan harapan-harapan
tertentu terhadap peran wanita yang sekaligus ibu.
Keputusan untuk mengambil dua peran
berbeda yaitu di rumah tangga dan di tempat kerja tentu diikuti dengan tuntutan
dari dalam diri sendiri dan masyarakat. Tuntutan dari diri sendiri dan sosial
ini menyerukan hal yang sama yaitu keberhasilan dalam dua peranan tersebut.
Idealnya memang setiap wanita bisa menjalani semua peran dengan baik dan
sempurna, namun ini bukanlah hal mudah. Banyak wanita berperan ganda mengakui
bahwa secara operasional sulit untuk membagi waktu bagi urusan rumah tangga dan
urusan kantor (Izzaty, 1999). Dalam Hurlock (1992) bahwa wanita tidak menyukai
kalau harus melaksanakan beban tugas ganda, satu tugas dalam dunia perkantoran
dan satu lagi tugas rumah tangga. Wanita merasa bersalah karena menolak tugas
rumah tangga, contohnya dari sekian banyak tugas rumah tangga hanya tugas
merawat anak yang dapat dilakukan atau bahkan tugas ini dilakukan oleh baby sitter.
Akibatnya bagi wanita pekerja, maka kehidupan rumah tangga mereka merasa tidak
memuaskan.
Ini merupakan contoh kasus konflik
pada wanita yang berperan ganda:
Deni dan Susan, adalah salah satu
pasangan yang menjalani pernikahan dengan beda pendapatan tersebut. Saat Deni
kena PHK dari pekerjaannya dengan jabatan sebagai manajer sebuah bank, ia pun
harus mencari pekerjaan lain. Pekerjaan barunya kini ternyata gajinya lebih
kecil dari sang istri, Susan yang bekerja sebagai kepala HRD sebuah perusahaan.
Kini setelah menjadi orang yang pendapatannya lebih tinggi dari sang suami,
Susan merasa lebih percaya diri. "Aku jadi tidak bergantung lagi secara
finansial pada suami," katanya. Hanya saja jika memang boleh memilih,
Susan yang ibu satu anak itu lebih suka menjadi ibu rumah tangga atau bekerja
part time saja. "Jadi aku bisa lebih banyak menghabiskan waktu dengan
putraku," katanya. Wanita seperti Susan, meski bergaji lebih besar dari
suaminya, harus berjuang untuk menyeimbangkan tugasnya sebagai orangtua sekaligus
dengan pekerjaannya.
Satu dampak dari keterlibatan wanita
dalam angkatan kerja adalah terjadinya konflik antara kebutuhan untuk
pengembangan diri dalam karir dengan nilai-nilai tradisional yang melekat pada
wanita. Hubungan antara pekerjaan dan keluarga adalah
dua arah (bidirectional), yaitu ranah pekerjaan dapat mencampuri ranah
keluarga (work to family conflict), dan ranah keluarga dapat mencampuri
ranah pekerjaan (family to work conflict) (Adams dkk, 1996). Konflik
seringkali terjadi karena tugas rumah tangga sering datang seiring dengan
tugasnya sebagai karyawan dan keduanya memerlukan perhatian yang sama besar,
waktu dan energi dibutuhkan untuk mencapai pemenuhan peran yang optimal.
Konflik antara ranah pekerjaan dan keluarga hadir pada saat individu harus
menampilkan multi peran: pekerja, pasangan, dan orang tua (Senecal dkk., 2001).
Bimbaum melaporkan bahwa satu dari enam wanita professional di Amerika
mengalami konflik dalam mengkombinasikan karir dan rumah tangga (Arinta &
Azwar, 1993).
Pekerjaan dan keluarga dapat menjadi stressful,
stress dalam menghadapi peran gandanya tersebut. Apalagi jika pekerjaan dan
keluarganya memberi tekanan dalam waktu yang bersamaan. Sebagai ibu yang
memiliki anak, maka kewajibanya untuk mengawasi tumbuh kembang si anak tersebu.
Pada sisi lain dia juga harus memikirkan tanggung jawab yang lain, yaitu
tanggung jawab sebagai seorang pemimpin pada suatu perusahaan yang juga
memerlukan perhatian lebih agar perusahaan yang dipimpin tetap berada pada
jalurnya.
Konflik yang terjadi pada peran di
pekerjaan dan peran di keluarga menimbulkan efek-efek negatif. Konflik
pekerjaan - keluarga (work - family conflict) oleh para ahli selalu
dikaitkan dengan sumber stress yang mempengaruhi segi fisik dan psikologis
(Adams dkk.,1996). Frone, Russel, & Barnes (Major dkk, 2002) menyatakan
bahwa konflik antara pekerjaan ke keluarga (work to family conflict)
mempunyai hubungan dengan depresi dan keluhan somatic. Konflik yang
berkepanjangan. Tidak saja dapat menurunkan kinerja, Tetapi bisamenimbulkan
stres. Stres terjadi karena konflik yang berkepanjangan menimbulkan
ketidakseimbangan fisik dan psikis, sebagai bentuk reaksi terhadap tekanan yang
intensitasnya sudah terlalu tinggi.
Dampak yang ditimbulkan oleh konflik
salah satunya adalah stress. Stress bukan hanya bersifat
personal, stress juga dapat terjadi di lingkungan kerja. Menurut Selye
(dalam Beehr, et al., 1992), pengertian dari stress kerja adalah respon
seorang individu terhadap stresor di tempat kerja. Stres sebagai reaksi
organisme, yang dapat berupa reaksi fisiologis, psikologis, atau perilaku.
Berdasarkan definisi di atas, stress kerja dapat diartikan respon
individu terhadap sumber atau stresor, dimana stresor yang
dimaksud adalah segala kondisi pekerjaan yang dipersepsikan karyawan sebagai
suatu tuntutan dan dapat menimbulkan stress kerja yang dapat memunculkan
reaksi individu berupa reaksi fisiologis, psikologis, dan perilaku.
Menurut Stephen Palmer & Cary
Cooper (2007), mengemukakan bahwa respon terhadap stres dapat ditampilkan
dalam 3 bentuk, yaitu bentuk fisik, perilaku dan psikologis. Gejala yang
ditimsbulkan dalam bentuk fisik, antara lain, mulut kering, tangan lembab,
sesak nafas, migrain, diare, asma bahkan sampai pingsan. Gejala yang
ditampilkan dalam bentuk perilaku, antara lain perilaku agresif, meningkatkan
konsumsi alkohol, menunda-nunda pekerjaan, perilaku pasif, perubahan pola
tidur, menurunnya performa kerja, meningkatkan absensi, meningkatkan konsumsi
kafein, manajemen waktu yang jelek. Sedangkan gejala psikologis ditampilkan
antara lain dalam bentuk marah, gelisah, ketakutan, cemas, rasa malu, turunnya
harga diri, keinginan bunuh diri, pikiran paranoid, mimpi buruk, depresi,
kecemburuan, tidak dapat berkonsentrasi, sering melamun. Gejala-gejala yang
ditimbulkan oleh stress tersebut dapat mempengaruhi kinerja karyawan
saat bekerja, dan terganggunya kinerja karyawan tersebut bisa memberikan
kerugian bagi perusahaan
Konflik-konflik yang dihadapi oleh wanita yang berperan ganda memerlukan
pemecahan sebagai upaya untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi terhadap
masalah dan tekanan yang menimpa mereka. Konsep untuk memecahkan permasalahan
ini disebut dengan coping. Coping dilakukan untuk menyeimbangkan
emosi individu dalam situasi yang penuh tekanan.
REFERENSI
McQuade, Walter
dan Ann Aikman.1991.STRESS.Edisi
kedua.Diterjemahkan oleh: Stella.Jakarta:Erlangga
Pinel, Jhon P.J., (2009). BIOPSIKOLOGI.
Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar