Rabu, 29 April 2015

Hubungan Antara Kesehatan Mental Dengan Social Support

Dalam membahas hubungan antara kesehatan mental dengan social support, kita dapat melihatnya pada fenomena stres yang dialami wanita menopouse yang mengalami beberapa gejala psikologis seperti; kecemasan, rasa panik dan harga diri menurun, dengan begitu untuk dapat mengatasi beberapa gejala psikologis yang mempengaruhi kesehatan mental dari wanita yang menopous tersebut perlu adanya dukungan dari lingkungan sekitar atau orang-orang terdekat untuk memberi dukungan agar dapat menjalani kehidupan biasa meski dengan keadaan yang tidak produktif lagi (menopous).
Menopause merupakan suatu fase alamiah dimana berakhirnya kemampuan wanita untuk bereproduksi yang ditandai dengan berhentinya siklus menstruasi pada wanita. Secara normal wanita akan mengalami menopause antara usia 45 tahun sampai 55 tahun, dan seorang wanita dikatakan mengalami menopause bila siklus menstruasinya telah berhenti selama 12 bulan (Kasdu, 2003).
Perubahan fisik yang terjadi ketika menopause disertai juga dengan beberapa gejala psikologis yang menonjol, seperti stress, frustasi dan adanya penolakan terhadap menopause (Papalia, 2003). Hal tersebut dapat kita sebut sebagai gangguan pada kesehatan mental.

Namun, tidak wanita yang mengalami menopause merasakan hal tersebut. Beberapa wanita menganggap menopause sebagai hal yang biasa dalam hidupnya. Mereka menganggap bahwa setelah masa reproduksi berakhir, mereka tidak akan direpotkan lagi dengan haid yang datang rutin setiap bulan sehingga tidak mengganggu aktivitas mereka, terutama aktivitas yang berhubungan dengan keagamaan, misalnya ibadah shalat bagi wanita yang beragama Islam. Ibrahim (2002) juga mengungkapkan bahwa beberapa wanita justru menemukan kesenangan pada masa menopause, salah satunya dengan memperkuat benteng agama. Wanita juga menunjukkan perhatian yang lebih pada masalah agama dan kehidupan setelah kematian. Mereka menjalankan berbagai kewajiban beribadah, mendatangi ahli agama untuk mendapatkan bimbingan, nasihat dan penyuluhan rohani.
Gejala-gejala lain yang muncul saat menopause adalah perasaan menurunnya harga diri karena menurunnya daya tarik fisik dan seksual, mereka merasa tidak dibutuhkan oleh suami dan anak-anak mereka, serta merasa kehilangan femininitas karena fungsi reproduksi yang menurun (dalam Zainuddin, 2005). Dacey & Travers (2002) juga menyatakan bahwa seseorang yang mengalami menopause sering sulit berkonsentrasi, sering lupa, kesepian, suasana hati tidak menentu, dan sering merasa cemas.
Dengan demikian bahwa wanita yang merasa stress, harga dirinya menurun, frustasi dan adanya penolakan terhadap menopous adalah wanita yang telah mengalami gangguan kesehatan mental (Psikologis). Sementara gangguan kesehatan mental tersebut ternyata dapat diatasi dengan kecerdasan spiritual dan social support.
Dukungan sosial (social support) didefenisikan oleh Gottlieb (1983) sebagai informasi verbal atau non-verbal, saran, bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek di dalam lingkungan sosialnya dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku penerimanya. Dalam hal ini orang yang merasa memperoleh dukungan sosial, secara emosional merasa lega karena diperhatikan, mendapat saran atau kesan yang menyenangkan pada dirinya. Pendapat senada dikemukakan juga oleh Sarason (1983) yang mengatakan bahwa dukungan sosial adalah keberadaan, kesediaan, kepedulian dari orang-orang yang dapat diandalkan, menghargai dan menyayangi kita. Rice (1987) mengartikan dukungan sosial sebagai bantuan yang diberikan oleh pasangan (suami/istri), orang tua dan teman-teman.


Berdasarkan beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial adalah bantuan atau dukungan yang diberikan oleh orang-orang di sekitar individu yang mampu membuat individu merasa nyaman kembali, baik secara fisik maupun psikologis sebagai bukti bahwa mereka diperhatikan dan dicintai.
Maka dari fenomena stres pada wanita yang mengalami menopouse yang membutuhkan dukungan sosial tadi telah menggambarkan bagaimana hubungan yang jelas antara kesehatan mental dengan social support. Karena dengan adanya social support , gejala-gejala psikologis dari wanita yang mengalami menopous tersebut dapat teratasi.


Daftar Pustaka :

Mackenzie, Raewyn, Menopause Tuntunan Praktis untuk wanita (terj.) Gianto Widianto dan Yustina Risitawati (Jakarta: Arcan, 1995), cet. V.

Fenomena Stres Pada Wanita




 Pada saat ini wanita telah mengalami kemajuan dalam berbagai hal. Fenomena wanita bekerja bukan merupakan hal yang aneh lagi bagi masyarakat kita. Wanita jaman sekarang bisa melakukan pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh kaum pria. Dalam dunia politik pun tidak luput dari campur tangan wanita, bangsa Indonesia pun pernah di pimpin oleh pemimpin wanita. Hal ini dapat membuktikan bahwa wanita diberai kesempatan yang besar untuk menjalankan kiprahnya didunia kerja.
Perlu dipahami bahwa fenomena wanita berperan ganda sebagai ibu tumah tangga sekaligus bekerja diluar rumah, dan juga sebagai pemimpin wanita  sebenarnya sudah ada sejak dulu. Pada awal abad 19, di luar negeri wanita yang sebelumnya berfungsi sebagai pekeraja terampil pada usaha-usaha rumah tangga yang memproduksi sampai memasarkan mulai beralih. Dampak dari revolusi industri membuat wanita banyak berpaling untuk melakukan pekerjaan di luar rumah untuk menghidupi dan menambah penghasilan keluarga. Menurut data statistik Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) tahun 2003 – 2005. Pada tahun 2003 angkatan kerja wanita mencapai 35,479,000 atau 35.36% dari angkatan kerja keseluruhan, 25.55% dari 35 juta tersebut merupakan pekerja di sektor publik. Tahun 2004 angkatan kerja wanita naik menjadi 38,046,000 atau 34.66 % dari angkatan kerja keseluruhan, 27.58 % bekerja di sektor publik. Tahun 2005 juga mencatat kenaikan angkatan kerja wanita yang mencapai 39,580,488 atau 37.40 % dari angkatan kerja keseluruhan, 26.98% dari angka tersebut merupakan pekerja sektor publik.
Bekerja bagi setiap wanita adalah sebuah pilihan. Gerson (1985, dalam Nainggolan, dkk, 1996:78) menyatakan bahwa keputusan wanita untuk bekerja dipengaruhi oleh faktor yang sifatnya komulatif, interaktif dan terus berkembang dipengaruhi baik secara langsung atau tidak dari masyarakat, keluarga dan diri sendiri sehubungan dengan harapan-harapan tertentu terhadap peran wanita yang sekaligus ibu.
Keputusan untuk mengambil dua peran berbeda yaitu di rumah tangga dan di tempat kerja tentu diikuti dengan tuntutan dari dalam diri sendiri dan masyarakat. Tuntutan dari diri sendiri dan sosial ini menyerukan hal yang sama yaitu keberhasilan dalam dua peranan tersebut. Idealnya memang setiap wanita bisa menjalani semua peran dengan baik dan sempurna, namun ini bukanlah hal mudah. Banyak wanita berperan ganda mengakui bahwa secara operasional sulit untuk membagi waktu bagi urusan rumah tangga dan urusan kantor (Izzaty, 1999). Dalam Hurlock (1992) bahwa wanita tidak menyukai kalau harus melaksanakan beban tugas ganda, satu tugas dalam dunia perkantoran dan satu lagi tugas rumah tangga. Wanita merasa bersalah karena menolak tugas rumah tangga, contohnya dari sekian banyak tugas rumah tangga hanya tugas merawat anak yang dapat dilakukan atau bahkan tugas ini dilakukan oleh baby sitter. Akibatnya bagi wanita pekerja, maka kehidupan rumah tangga mereka merasa tidak memuaskan.
Ini merupakan contoh kasus konflik pada wanita yang berperan ganda:
Deni dan Susan, adalah salah satu pasangan yang menjalani pernikahan dengan beda pendapatan tersebut. Saat Deni kena PHK dari pekerjaannya dengan jabatan sebagai manajer sebuah bank, ia pun harus mencari pekerjaan lain. Pekerjaan barunya kini ternyata gajinya lebih kecil dari sang istri, Susan yang bekerja sebagai kepala HRD sebuah perusahaan.  Kini setelah menjadi orang yang pendapatannya lebih tinggi dari sang suami, Susan merasa lebih percaya diri. "Aku jadi tidak bergantung lagi secara finansial pada suami," katanya. Hanya saja jika memang boleh memilih, Susan yang ibu satu anak itu lebih suka menjadi ibu rumah tangga atau bekerja part time saja. "Jadi aku bisa lebih banyak menghabiskan waktu dengan putraku," katanya. Wanita seperti Susan, meski bergaji lebih besar dari suaminya, harus berjuang untuk menyeimbangkan tugasnya sebagai orangtua sekaligus dengan pekerjaannya.

Satu dampak dari keterlibatan wanita dalam angkatan kerja adalah terjadinya konflik antara kebutuhan untuk pengembangan diri dalam karir dengan nilai-nilai tradisional yang melekat pada wanita.     Hubungan antara pekerjaan dan keluarga adalah dua arah (bidirectional), yaitu ranah pekerjaan dapat mencampuri ranah keluarga (work to family conflict), dan ranah keluarga dapat mencampuri ranah pekerjaan (family to work conflict) (Adams dkk, 1996). Konflik seringkali terjadi karena tugas rumah tangga sering datang seiring dengan tugasnya sebagai karyawan dan keduanya memerlukan perhatian yang sama besar, waktu dan energi dibutuhkan untuk mencapai pemenuhan peran yang optimal. Konflik antara ranah pekerjaan dan keluarga hadir pada saat individu harus menampilkan multi peran: pekerja, pasangan, dan orang tua (Senecal dkk., 2001). Bimbaum melaporkan bahwa satu dari enam wanita professional di Amerika mengalami konflik dalam mengkombinasikan karir dan rumah tangga (Arinta & Azwar, 1993).
Pekerjaan dan keluarga dapat menjadi stressful, stress dalam menghadapi peran gandanya tersebut. Apalagi jika pekerjaan dan keluarganya memberi tekanan dalam waktu yang bersamaan. Sebagai ibu yang memiliki anak, maka kewajibanya untuk mengawasi tumbuh kembang si anak tersebu. Pada sisi lain dia juga harus memikirkan tanggung jawab yang lain, yaitu tanggung jawab sebagai seorang pemimpin pada suatu perusahaan yang juga memerlukan perhatian lebih agar perusahaan yang dipimpin tetap berada pada jalurnya.
Konflik yang terjadi pada peran di pekerjaan dan peran di keluarga menimbulkan efek-efek negatif. Konflik pekerjaan - keluarga (work - family conflict) oleh para ahli selalu dikaitkan dengan sumber stress yang mempengaruhi segi fisik dan psikologis (Adams dkk.,1996). Frone, Russel, & Barnes (Major dkk, 2002) menyatakan bahwa konflik antara pekerjaan ke keluarga (work to family conflict) mempunyai hubungan dengan depresi dan keluhan somatic. Konflik yang berkepanjangan. Tidak saja dapat menurunkan kinerja, Tetapi bisamenimbulkan stres. Stres terjadi karena konflik yang berkepanjangan menimbulkan ketidakseimbangan fisik dan psikis, sebagai bentuk reaksi terhadap tekanan yang intensitasnya sudah terlalu tinggi.
Dampak yang ditimbulkan oleh konflik salah satunya adalah stress. Stress bukan hanya bersifat personal, stress juga dapat terjadi di lingkungan kerja. Menurut Selye (dalam Beehr, et al., 1992), pengertian dari stress kerja adalah respon seorang individu terhadap stresor di tempat kerja. Stres sebagai reaksi organisme, yang dapat berupa reaksi fisiologis, psikologis, atau perilaku. Berdasarkan definisi di atas, stress kerja dapat diartikan respon individu terhadap sumber atau stresor, dimana stresor yang dimaksud adalah segala kondisi pekerjaan yang dipersepsikan karyawan sebagai suatu tuntutan dan dapat menimbulkan stress kerja yang dapat memunculkan reaksi individu berupa reaksi fisiologis, psikologis, dan perilaku.
Menurut Stephen Palmer & Cary Cooper (2007), mengemukakan bahwa respon terhadap stres dapat ditampilkan dalam 3 bentuk, yaitu bentuk fisik, perilaku dan psikologis. Gejala yang ditimsbulkan dalam bentuk fisik, antara lain, mulut kering, tangan lembab, sesak nafas, migrain, diare, asma bahkan sampai pingsan. Gejala yang ditampilkan dalam bentuk perilaku, antara lain perilaku agresif, meningkatkan konsumsi alkohol, menunda-nunda pekerjaan, perilaku pasif, perubahan pola tidur, menurunnya performa kerja, meningkatkan absensi, meningkatkan konsumsi kafein, manajemen waktu yang jelek. Sedangkan gejala psikologis ditampilkan antara lain dalam bentuk marah, gelisah, ketakutan, cemas, rasa malu, turunnya harga diri, keinginan bunuh diri, pikiran paranoid, mimpi buruk, depresi, kecemburuan, tidak dapat berkonsentrasi, sering melamun. Gejala-gejala yang ditimbulkan oleh stress tersebut dapat mempengaruhi kinerja karyawan saat bekerja, dan terganggunya kinerja karyawan tersebut bisa memberikan kerugian bagi perusahaan
            Konflik-konflik yang dihadapi oleh wanita yang berperan ganda memerlukan pemecahan sebagai upaya untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi terhadap masalah dan tekanan yang menimpa mereka. Konsep untuk memecahkan permasalahan ini disebut dengan coping. Coping dilakukan untuk menyeimbangkan emosi individu dalam situasi yang penuh tekanan.

REFERENSI
McQuade, Walter dan Ann Aikman.1991.STRESS.Edisi kedua.Diterjemahkan oleh: Stella.Jakarta:Erlangga
Pinel, Jhon P.J., (2009). BIOPSIKOLOGI. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR.

Jumat, 24 April 2015

Potensi diri


Saya Firda Shara Amalia potensi saya adalah menari,sejak TK saya sudah suka menari. Ketika SD saya selalu latihan semingu sekali pada hari sabtu sore,dan saya pernah mengikuti lomba menari di salah satu mall dan saya mendapatkan juara dua dan harapan tiga kebetulan saya waktu itu mengikuti dua lomba tarian dalam satu waktu di karnakan kita kekurangan orang pada saat itu jadi saya yang menggantikannya untuk masauk ke barisan yang satu lagi. Ketika SMP saya masuk pesantren, pada saat itu saya berenti untuk nari di sanggar karna tidak bias mengikuti latihan mingguannya. Di pesantren saya mengikuti ekskul beladiri yaitu “Tapak Suci” sejak itu potensi saya menambah  jadi  beladiri,saya senang sekali dengan beladiri tersebut karna menurut saya beladiri tidak hanya harus dimiliki oleh laki-laki saja,saya sebagai wanita juga harus bisa bela diri untuk jaga-jaga jika ada sesuatu yang tidak di inginkan oleh para wanita contohnya seperti perampokan atau yang lainnya. Dari kedua potensi saya,saya senang dengan keduanya karna keduanya bisa menjadi hiburan saya ketika saya sedang tidak mood.yaa walaupun sekarang saya sudah tidak mengikuti keduanya lagi tapi saya senang sekali ketika melihat-lihat lomba menari ataupun beladiri,dengan saya melihat lomba-lomba itu saya jadi menambah wawasan tentang potensi saya. Kalo ditanya masih bisa semuanya atau tidak? Jujur saya sudah lupa karna semenjak saya keluar pesantren saya sudah tidak pernah mengulangnya lagi mungkin kalo di ajarin sekali atau di ingatkan lagi saya masih bisa insya allah :D

Jumat, 17 April 2015

hasil wawancara



Nama                    : Nur Alfi Lail Aulia
Umur                    : 19 tahun
Pekerjaan           : mahasiswa

Firda      : bakat apa yang kamu miliki?
Alfi         : menari
Firda      : sejak kapan kamu sudah memiliki bakat tersebut?
Alfi         : punya bakat sejak kelas 6 SD tahun 2007
Firda      : apa keluarga kamu mendukung dengan bakat yang kamu miliki?
Alfi         : sangat mendukung
Firda      : apakah kamu pernah mengikuti lomba menari?
Alfi         : iya pernah. Dalam kegiatan memperingati ulang tahun Jakarta di blok m plaza dan  mendapatkan juara 1
Firda      : apa yang kamu dapat dari bakat yang kamu miliki?
Alfi         : yang saya dapat itu adalah pengalaman,trus juga pendapatan uang saku dari hasil mengajar setiap sabtu sore di sanggar
Firda      : apakah kamu pernah ngedown dengan bakat yang kamu miliki?
Alfi         :pernah sih,efek badan yang kekurusan. Karna penari itukan identik badannya ideal yah
Firda      : bakat yang kamu miliki mengganggu kuliah kamu gak?
Alfi         : ga ganggu ko,kan kuliah itu dari senin-jumat,sedangkan ngajar nari itu setiap sabtu sore
Firda      : terima kasih atas waktu yang sudah di luangkan,sukses terus dengan bakat yang kamu miliki
Alfi         : amiin,sama-sama